Senin, 07 Mei 2012

Laporan Akhir Internet Dasar


Nama: Yaswidya Amandarizky Cahyanandyasmoro
NPM : 17111496
Kelas: 1KA16


1.Search Engine Optimization
Optimisasi mesin pencari (bahasa Inggris: Search Engine Optimization, biasa disingkat SEO) adalah serangkaian proses yang dilakukan secara sistematis yang bertujuan untuk meningkatkanvolume dan kualitas trafik kunjungan melalui mesin pencari menuju situs web tertentu dengan memanfaatkan mekanisme kerja atau algoritma mesin pencari tersebut. Tujuan dari SEO adalah menempatkan sebuah situs web pada posisi teratas, atau setidaknya halaman pertama hasil pencarian berdasarkan kata kunci tertentu yang ditargetkan. Secara logis, situs web yang menempati posisi teratas pada hasil pencarian memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan pengunjung.
Sejalan dengan makin berkembangnya pemanfaatan jaringan internet sebagai media bisnis, kebutuhan atas SEO juga semakin meningkat. Berada pada posisi teratas hasil pencarian akan meningkatkan peluang sebuah perusahaan pemasaran berbasis web untuk mendapatkan pelanggan baru. Peluang ini dimanfaatkan sejumlah pihak untuk menawarkan jasa optimisasi mesin pencari bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki basis usaha di internet.


2. Cara menambahkan menu dropdown pada blog
berikut cara membuat dropdown sub menu di blog :

Pertama, log in ke akun blogger anda

Kedua, pilih design .

Ketiga, pilih add gadget.

Keempat,pilih html javascript .

Kelima, copas kode dibawah ini ke kotak tersebut , seterah mau pake judul atau tidak.


<form><select name="menu"
onchange="window.open(this.options[this.selectedIndex].value,'_blank')"size=1
name=menu>
<option>Link</option>
<option value="http://www.berryhs.com">Berry Blog</option>
<option value="http://www.yahoo.com">Yahoo</option>
<option value="http://www.google.com">Google</option>
</select></form>

3. Pesan dan kesan terhadap lapintdas
praktek lapintdas termasuk termasuk praktek yang sangat seru dan sangat disayangkan karena praktek labintdas hanya diadakan 2 kali dengan metode belajar seperti kuis, tidak membuat para mahasiswa bosan namun fasilitas sangat tidak memuaskan, mengingat bahwa gunadarma yang digadang2 sebagai "World Class University". hardware banyak yang tidak berfungsi dan internet juga tidak terhubung ke seluruh komputer, padahal itu adalah praktek internet :)

Selasa, 01 Mei 2012

Budaya Daerah Sebagai Alat Mempersatu Bangsa


Nama : Yaswidya Amandarizky Cahyanandyasmoro
NPM : 17111496
Kelas : 1KA16

MUSIK SEBAAGAI PEMERSATU BANGSA

Menurut Pak Koesbini, lagu kebangsaan Indonesia Raya merupakan lagu yang paling megah. Memang betul, megah irama musiknya, megah pula syair lagunya. Terlebih jika sudah dinyanyikan secara formal dalam suatu upacara resmi kenegaraan. Seluruh badan ini mungkin akan bergetar mendengar dan merasakan kebesaran lagu kebangsaan kita. Coba, tanyakan pada saudara-saudara kita yang berada di luar negeri sana. Pasti mereka akan mengalami perasaan yang sama. Termasuk di pesta olahraga atau pertandingan internasional yang membawa nama Indonesia.
Semua itu bisa dirasakan hanya oleh Bangsa Indonesia. Meskipun kita hidup di negeri orang dan telah berpindah kewarganegaan, kalau masih merasa sebagai Bangsa Indonesia – sekali lagi Bangsa Indonesia – pastilah akan tergetar hatinya, perasaannya bahkan seluruh tubuh dan jiwanya kalau Indonesia Raya diperdengarkan. Hanya mereka yang bukan Bangsa Indonesia saja yang cuek.
Pada kenyataannya kini, tak sedikit mereka yang cuek dengan lagu Indonesia Raya. Mereka lahir dan hidup di bumi Indonesia, mereka mengaku Bangsa Indonesia, mereka mencari makan di Indonesia tetapi rasa kebangsaannya telah luntur. Lagu Indonesia Raya hanya dianggap sebagai lagu biasa, tak ada istimewanya sama sekali. Mereka terkesan dingin ketika lagu Indonesia Raya diperdengarkan. Bahkan di kampung-kampung hampir tak lagi kita jumpai upacara memperingati Hari Ulang Tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Upacara lebih sering dijumpai pada sekolah-sekolah, instansi pendidikan, dan kantor pemerintah.
Dulu, ketika lagu kebangsaan Indonesia Raya pada upacara peringatan HUT RI terdengar, orang-orang yang melewati tempat upacara langsung berhenti sejenak sampai lagu Indonesia Raya selesai. Sekarang…??? Ini bukan mengkultuskan, tapi sekedar sebagai penghormatan saja terhadap lagu kebangsaan.
Saya menilai bahwa hasil temuan Roy Suryo tentang lagu kebangsaan Indonesia Raya 3 stanza beberapa waktu yang lalu sebenarnya hanyalah mengingatkan kepada kita sebagai Bangsa Indonesia. Kita patut mempertanyakan pada diri kita masing-masing apakah rasa kebangsaan masih kita miliki. Apakah cita-cita Sumpah pemuda 1928 masih melekat pada diri kita.
Dalam syair Indonesia Raya sendiri sebenarnya telah disebutkan bahwa kita berdiri dan hidup di Indonesia adalah sebagai pandu ibu pertiwi atau tanah air tumpah darah kita. Tetapi cukupkah kita hanya berdiri sebagai pandu saja?
Tidak, masih ada terusannya. Marilah kita berseru Indonesia bersatu. Apakah sekarang kita bersatu? Antar etnis saling menyerang, sesama rakyat saling berbaku hantam, perpecahan terjadi di berbagai daerah. Antar pertai politik saling menjatuhkan. Pemerintah dan rakyat tidak akur dan masih banyak lagi. Padahal dengan bersatu dalam ketenangan segala urusan akan menjadi mudah diselesaikan.
Mana tugas kita sebagai penjaga ibu sejati? Nyatanya, satu persatu wilayah kita ada yang lepas. Dimulai dari Propinsi Timor-timur, sekarang sudah menjadi negara sendiri dan Bangsa Indonesia dianggap sebagai penjajah negeri itu. Lalu, Pulau Sipadan dan Ligitan masuk ke wilayah negera lain. Entah mana lagi nanti. Tapi kita berharap hal itu tak akan terjadi lagi. Bersatu bukan hanya rakyatnya, namun juga wilayahnya dengan seluruh budaya dan tradisi yang ada di dalamnya harus tetap dijaga kesatuannya dalam bingkai NKRI.
Juga disebutkan dalam syair, Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Apa yang sudah kita bangun? Badan kita, fisik rakyat yang kuat? Kemiskinan masih banyak, pengangguran ribuan, untuk makan saja harga kebutuhan pokok mahal dan semakin melambung tinggi, sedangkan rakyat tidak semuanya mampu mendapatkan itu. Dari mana mereka akan membangun badan yang sehat dan kuat, kalau gizi saja tidak tercukupi karena tekanan ekonomi. Pembangunan di berbagai daerah juga kurang merata karena hanya terpaku di Pulau Jawa. Ini yang menyebabkan beberapa daerah bergejolak dan ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk membangun jiwa agar rasa kebangsaan menjadi semakin tebal kalau generasi mudanya rusak. Narkoba, miras dan penyakit masyarakat yang lain justru menyerang generasi penerus bangsa ini. Operasi miras memang dilakukan, tapi pabrik pembuatnya jalan terus. Pecandu narkoba kelas teri ditangkap dan dihukum, tapi bandar kelas kakap tetap bebas berkeliaran. Di samping itu banyak generasi muda yang sudah terpengaruh oleh budaya barat. Bagaimana bisa membangun jiwa? Sedangkan ajaran agama tidak akrab lagi dalam kehidupan yang modern ini.
Indonesia adalah tanah yang subur. Apa pun bisa diupayakan untuk kesejahteraan rakyatnya yang bisa didapat dari darat seperti hutan, perkebunan, ladang dan barang tambang. Begitu pula dengan hasil lautnya, Indonesia tidak kalah dengan Jepang maupun negara kepulauan lainnya. Pantaslah kalau Koes Plus bilang, Bukan lautan hanya kolam susu, Kail dan jala cukup menghidupimu, Tiada badai tiada topan kau temui Ikan dan udang menghampiri dirimu. Bahkan tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman. Sungguh nikmat sekali bukan?
Tapi, mengapa semua itu tidak mampu membuat rakyat sejahtera. Mengapa tidak semua rakyat bisa menikmati hasilnya? Kemana sajakah larinya hasil dari semua itu selama ini? Korupsi semakin meraja lela dan tak terkendali. Berbagai kasus korupsi yang ketahuan pun banyak yang tak selesai perkaranya. Bahkan, konon penjahat korupsi justru tetap merasa senang dan tenang menikmati hasil jarahannya itu. Sungguh ironis, melihat kenyataan yang ada.
Kalau kita mengatakan bahwa kita ini sudah merdeka, harusnya kita perlu menanyakan lebih jauh merdeka dari apa. Kalau merdeka secara fisik dari penjajahan, memang iya. Tetapi dari segi ekonomi, sosial budaya, apalagi teknologi ternyata masih jauh.
Di negeri ini produk luar negeri membanjiri pasar dan supermarket. Contohnya aja fast food, lebih terkenal daripada produk lokal sejenis. Begitu pula dalam hal budaya, generasi muda lebih tertarik untuk bergaya hidup bebas ala barat. Mode pakaian, rokok, sepeda motor, mobil, rumah dan sebagainya dipenuhi oleh buatan luar negeri. Padahal kualitas produk kita belum tentu kalah dengan buatan luar negeri. Dan pasar tradisional pun makin terpuruk dengan bermunculannya mini market, supermarket maupun swalayan dengan sistem waralaba.
Coba tanya, banggakah kita menggunakan produk lokal?
Hanya kesadaran kita sebagai bangsalah yang mampu mempertebal rasa kebangsaan Indonesia itu sendiri. Kalau bukan kita, lantas siapa lagi. Pemerintah, aparat, generasi tua maupun generasi muda dan seluruh lapisan masyarakat harus menyadari bahwa kita adalah pandu negeri. Pandu yang mestinya mampu mempersatukan seluruh elemen bangsa, agar amanat Sumpah Pemuda dengan bangunlah jiwanya bangunlah badannya dapat tercapai untuk kesejahteraan rakyat. Untuk Indonesia Raya.
Satu lagi yang menjadi catatan saya, betapa menyedihkannya kalau arsip-arsip penting seperti dokumen rekaman lagu Indonesia Raya asli dan yang lainnya tidak kita miliki. Negara lain saja memilikinya, mengapa kita justru tidak? Bagaimanapun juga, arsip penting menyangkut segala sesuatu tentang Indonesia di masa lalu adalah sangat berharga. Sebab itu merupakan sebuah dokumen penting, sebagai catatan sejarah yang akan sangat berguna bagi perjalanan hidup Bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Seharusnya semua itu kita miliki dan ada di negeri kita tercinta.
Merupakan tugas pemerintah dan kita semua dalam hal ini untuk bisa mendapatkan kembali catatan sejarah Bangsa Indonesia yang berada di negeri orang. Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai semangat dan jasa para pahlawannya.

Referensi

Kebudayaan Daerah Merupakan Sumber Kebudayaan Nasional


Nama : Yaswidya Amandarizky Cahyanandyasmoro
NPM : 17111496
Kelas : 1KA16



Dalam pemakaian sebagian besar masyarakat sehari-hari arti kebudayaan seringkali terbatas pada sesuatu yang indah-indah, seperti misalnya candi, tarian, seni rupa, seni suara, sastra, dan filsafat. Ralph Linton, seorang ahli antropologi dalam bukunya The Cultural Background of Personality, mempunyai definisi yang berbeda antara definisi yang umum tersebut dengan definisi seorang ahli antropologi sebagaimana disajikan pada uraian berikut (Ihromi, 1994; 18):
Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup itu masyarakat kalau kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri, maka tidak ada sangkut pautnya dengan main piano atau membaca karya sastra terkenal. Untuk seorang ahli ilmu sosial, kegiatan seperti main piano itu, merupakan elemen-elemen belaka dalam keseluruhan kebudayaan kita. Keseluruhan ini mencakup kegiatan-kegiatan duniawi seperti mencuci piring atau menyetir mobil dan untuk tujuan mempelajari kebudayaan, hal ini sama derajatnya dengan hal-hal yang lebih halusdalam kehidupan. Karena itu, bagi seorang ahli ilmu sosial tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam suatu kebudayaan.
Penjelasan Liton di atas menunjukkan bahwa kebudayaan ternyata memiliki berbagai aspek, yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap, dan hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Kebudayaan menurut ilmu antropologi pada hakikatnya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1996; 72). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena hanya sebagian kecil dari tindakan manusia yang tidak dibiasakan dengan belajar seperti naluri, refleks, atau tindakan yang dilakukan akibat suatu proses fisiologis. Bahkan beberapa tindakan yang didasari atas naluri (seperti makan, minum, dan berjalan) sudah dapat banyak dikembangkan manusia sehingga menjadi suatu tindakan yang berkebudayaan.
Pada tahun 1950, A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn telah berhasil mengumpulkan lebih dari seratus definisi (176 definisi) yang diterbitkan dalam buku mereka yang berjudul Culture: A Critical Review Of Concept And Definitions (1952). Dari pencariannya itu mereka menemukan bahwa semua definisi yang baru cenderung mengadakan perbedan yang jelas antara perilaku yang nyata di satu pihak, dan pihak lain berupa nilai-nilai, kepercayan, dan persepsi tentang jagat raya yang letaknya tidak dapat terlihat. Dengan demikian kebudayaan juga menyangkut perilaku yang tidak kelihatan, yang merupakan nilai-nilai dan kepercayaan yang digunakan manusia untuk menafsirkan pengalaman dan menimbulkan perilaku yang terlihat. Oleh karena itu definisi kebudayaan kemudian berkembang menjadi : Seperangkat peraturan dan standar, yang apabila dipenuhi oleh para anggota masyarakat, menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan diterima oleh para anggotanya (dalam Haviland, 1995; 332-334 dan Koentjaraningrat, 1996; 73).
Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni :
Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberi wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.
Kebudayaan Nasionaldalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah Puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimatapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan dari pada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari pernyataannya: Yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.
Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelas pada Pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang.
Kebudayaan daerah diartikan sebagai kebudayaan yang khas yang terdapat pada wilayah tersebut. Kebudayaan daerah di Indonesia di Indonesia sangatlah beragam. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan daerah sama dengan konsep suku bangsa. Suatu kebudayaan tidak terlepas dari pola kegiatan masyarakat. Keragaman budaya daerah bergantung pada faktor geografis. Semakin besar wilayahnya, maka makin komplek perbedaan kebudayaan satu dengan yang lain. Jika kita melihat dari ujung pulau Sumatera sampai ke pulau Irian tercatat sekitar 300 suku bangsa dengan bahasa, adat-istiadat, dan agama yang berbeda.
Konsep Suku Bangsa / Kebudayaan Daerah. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan kebudayaannya sendiri. Pola khas tersebut berupa wujud sistem sosial dan sistem kebendaan. Pola khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus yang tidak terdapat pada kebudayaan lain.
Menurut Koentharaningrat (1996; 80). Dalam menganalisa suatu kebudayaan, seorang ahli antropologi membagi seluruh kebudayaan yang sudah terintegrasi ke dalam unsur-unsur besar yang disebut unsur-unsur kebudayaan universal. Kluckhohn (dalam Koentharaningrat, 1996; 80-81), menemukan bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia yang disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan, yaitu :
1.    Bahasa
2.    Sistem organisasi
3.    Organisasi sosial
4.    Sistem peralatan hidup dan teknologi
5.    Sistemmata pencaharian hidup
6.    Sistem religi
7.    Kesenian


Referensi
http://rzaharani.blogspot.com/2012/03/kebudayaan-daerah-merupakan-sumber.html













Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Tindakan Anarkis


Nama : Yaswidya Amandarizky Cahyanandyasmoro
NPM : 17111496
Kelas : 1KA16

Tindakan anarkis entah itu berupa perusakan, pengeroyokan, pembakaran tersangka, penjarahan dan lain-lain pada dasarnya adalah hasil dari suatu perilaku kolektif (collective behavior). Bila dinamakan perilaku kolektif, bukanlah semata-mata itu merupakan perilaku kelompok melainkan  perilaku khas yang dilakukan  sekelompok orang yang anggotanya pada umumnya tidak saling kenal, bersifat spontan dan mudah cair (dalam arti menghentikan perilakunya).
            Kelompok yang lalu disebut entah itu crowd, craze dan mob itu,  pada dasarnya sama pula secara kondisional  yakni telah mengalami deindividuasi. Deindividuasi tersebut memungkinkan seseorang atau sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan destruktif dan sadis di luar rasionalitas individual dari para pelakunya (berkaitan dengan tema ini, penulis banyak dipengaruhi pikiran-pikiran Smelser, 1970).
            Uraian ini pertama-tama bertujuan memberi kontribusi atas permasalahan yang dihadapi kepolisian menghadapi dinamika masyarakat yang terlalu eksplosif akhir-akhir ini. Dalam kaitan itulah tulisan ini mempergunakan perspektif kepolisian dalam melihat fenomena perilaku kelompok ini.

ANARKIS ATAU PASIFIS
            Secara logis sebenarnya  bisa dikatakan, bahwa tindakan anarkis akan menurun drastis bila frekuensi kemunculan perilaku kolektif juga ditekan habis-habisan. Dalam hal ini, yang paling efektif melakukan tekanan itu sebenarnya anggota masyarakat sendiri, dan bukan polisi, mengingat perilaku kolektif bisa muncul dimana saja kapan saja secara tak terduga padahal polisi tidak mungkin berada dimana-mana. Terlebih lagi bila diingat bahwa masyarakat Indonesia termasuk tipe masyarakat yang mudah terbawa atau hanyut dalam perilaku kolektif.
            Cara masyarakat melakukan tekanan itu adalah sebagai berikut: dengan  tidak mudah kehilangan rasionalitas, dan selanjutnya mengadakan penolakan berbasis individual terhadap dorongan itu.
            Terhadap kecenderungan menyambut ajakan perilaku kolektif tersebut, yang masih saja menjadi misteri dari suatu tindak anarkis adalah sebagai berikut: Bila situasi anarkis adalah titik ekstrim dari perilaku kolektif, maka situasi pasifis (situasi aman dan tenang) adalah titik ekstrim lainnya. Bila perilaku a-sosial (perilaku menyimpang dan melanggar) adalah titik ekstrim, maka seharusnyalah perilaku pro-sosial (seperti perilaku menolong tanpa pamrih atau mengorbankan diri untuk orang lain) adalah ekstrim lainnya dari perilaku kolektif. Baik situasi pasifis dan perilaku pro-sosial, dengan demikian, mestinya sama potensialnya untuk muncul dibanding situasi anarkis dan perilaku a-sosial.
            Permasalahannya adalah: mengapa yang selalu muncul adalah situasi anarkis dan perilaku a-sosial? Mengapa pada saat ada seseorang yang menganjurkan untuk anarkis, ternyata tidak ada (atau sedikit sekali) orang yang minimal berkata ”jangan” ? Padahal, di pihak lain, bisa diduga bahwa sebagian kecil atau sebagian besar peserta dari kelompok anarkis itu adalah orang-orang yang juga terdidik, memiliki sopan-santun, datang dari keluarga kelas menengah, menjalankan ibadah agama, telah menikah dan memiliki anak hingga juga menduduki status sosial tertentu di masyarakat.
            Beberapa faktor itu, selama ini,  kita yakini sebagai yang memberdayakan orang untuk menciptakan situasi pasifis dan melakukan tindakan pro-sosial. Nyatanya, untuk konteks Indonesia, hal-hal tersebut tidak ampuh sama sekali dalam menghadapi faktor tekanan kelompok (peer pressure) yang menganjurkan anarki tadi.



KEYAKINAN BERSAMA
            Salahsatu kontributor dari munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling (dan olehkarenanya diyakini “pantas” untuk digebuki) ; atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan).
Perasaan tidak aman atau rasa takut pada kejahatan pada umumnya juga diakibatkan oleh diyakininya perasaan bersama tersebut, terlepas dari ada-tidaknya fakta yang mendukung perasaan tadi.
            Media-massa dalam hal ini amat efektif menanamkan citra, persepsi, pengetahuan ataupun pengalaman bersama tadi. Maka, sesuatu yang mulanya kasus individual, setelah disebarluaskan oleh media-massa lalu menjadi pengetahuan publik dan siap untuk disimpan dalam memori seseorang. Memori tersebut pada suatu waktu kelak dapat dijadikan referensi oleh yang bersangkutan dalam memilih model perilaku.
            Perhatikan bahwa, pada awalnya, kecenderungan membakar pelaku kejahatan hingga tewas ditemukan di Cengkareng, Jakarta Barat. Setelah dengan  intens diberitakan di media-massa, secara beruntun fenomena yang sama lalu terjadi di belahan tempat di Jakarta. Dan barulah sekitar setengah tahun kemudian (sekadar untuk memperlihatkan bahwa terdapat penularan)  fenomena ini kemudian ditemukan pula di luar Jakarta.
            Adanya keyakinan bersama (collective belief) tentang  suatu hal tersebut amat sering dibarengi dengan munculnya entah simbol, tradisi, grafiti, idiom/ungkapan khas dan bahkan mitos serta fabel yang bisa diasosiasikan dengan kekerasan dan konflik. Sebagai contoh, mitos tentang “kompleks Siliwangi”, STM Budut”  atau “anak Berlan”.
            Pada dasarnya kemunculan hal-hal seperti simbol, tradisi dan lain-lain itu  mengkonfirmasi bahwa masyarakat setempat mendukung perilaku tertentu, bahkan juga bila diketahui bahwa itu termasuk sebagai perilaku yang menyimpang. Adanya dukungan sosial terhadap suatu penyimpangan, secara relatif,  memang menambah kompleksitas masalah serta, sekaligus, kualitas penanganannya.
            Secara perilaku, dukungan itu bisa juga diartikan sebagai telah munculnya kebiasaan (habit) yang telah mendarah-daging (innate) di kelompok masyarakat itu. Adanya graffiti atau coretan-coretan di gang-gang kampung berbunyi “mobil nyenggol pengemudi benjol”, unjuk rasa yang selalu diiringi kepalan dan teriakan,  atau ungkapan khas Betawi “gue babat lu” adalah contoh-contoh kecil dari begitu eksplisitnya dukungan masyarakat terhadap kekerasan. Pada suatu waktu, hal itu bakal menyumbang besar pada timbulnya anarki.
            Maka, terhadap adanya kecenderungan peningkatan anarki di masyarakat, sadarlah kita bahwa kita berkejaran dengan waktu. Pencegahan anarki perlu dilakukan sebelum tindakan itu tumbuh sebagai kebiasaan baru di masyarakat mengingat telah cukup banyaknya kalangan yang merasakan “asyik”-nya merusak, menjarah, membakar dan lain-lain tanpa dihujat apalagi ditangkap (lihat Meliala  dalam Gamma, 2000).
            Berkaitan dengan ketidaksadaran dari banyak kalangan perihal beroperasinya suatu keyakinan bersama menyusul suatu tindak anarki, adalah kebiasaan kita untuk kemudian menunjuk adanya provokator. Provokator tersebut, secara teoritik, dapat dipersamakan dengan agitator atau insinuator bila hasil kerjanya  berupa munculnya rasa marah dan kemauan berkonflik pada diri orang yang di-agitasi atau di-insinuasi.
Selanjutnya, kerap kita membayangkan bahwa provokator tersebut adalah orang di luar kelompok atau massa (entah yang cair atau terorganisasi) yang mengabarkan cerita buruk dan bohong. Tak cukup dengan itu, dapat pula diimajinasikan bahwa provokator itu melakukannya seraya berbisik-bisik dengan mata curiga  dan berjalan mengendap-endap. Cukup mengherankan bila polisi, sebagai profesional yang seharusnya mengetahui bagaimana perilaku kolektif muncul dan bekerja, juga ikut-ikut mengemukakan hal yang sama.
            Mengenai bayangan itu, diduga kuat tidaklah demikian dalam kenyataannya. Yang  lebih mungkin terjadi adalah bahwa antar anggota kelompok atau massa itu sendirilah yang saling memprovokasi, saling mengagitasi atau saling menginsinuasi satu sama lain agar melakukan tindak anarki. Bila begitu, tak ayal, efeknya akan jauh lebih hebat dan lebih mungkin berhasil.

KELOMPOK TERORGANISIR
            Anarki, sebagaimana telah disinggung di atas,  dilakukan dalam rangka perilaku kolektif oleh massa yang spontan berkumpul dan, sepanjang diupayakan, dapat dengan mudah cair kembali. Dengan demikian, secara kepolisian, memang relatif lebih mudah memecah-belah massa dari tipe ini sepanjang tersedia perkuatan (enforcement) yang cukup.
            Yang jauh lebih merepotkan adalah, bila anarki dilakukan oleh orang-orang dari kelompok tertentu yang terorganisasi, memiliki motif militan dan radikal serta membawa senjata (atau benda-benda lain yang difungsikan sebagai senjata). Pelakunya juga bisa datang dari suatu komunitas yang, katakanlah, telah terinternalisasi dengan nilai dan ide kekerasan sebagaimana disebut di atas dan menjadi radikal karenanya (lihat Meliala, Pembaruan, 2001).
            Maka singkatnya,  anarki pada kelompok cair adalah sesuatu hal yang niscaya, wajar terjadi atau tak terhindarkan. Sedangkan anarki pada kelompok yang terorganisasi adalah efek yang sudah diperhitungkan (calculated effect), yang akibatnya sudah diperhitungkan dalam kaitannya dengan yang lain (systematic effect). Sehingga benar bila dikatakan  efek itu sendirilah yang justru diinginkan untuk terjadi (intended effect). Anarki oleh kelompok terorganisir ini umumnya  terencana, memiliki cukup kekuatan dan jaringan, memiliki motif tertentu dan juga target-target tertentu.
Kekerasan yang muncul kemudian, entah dalam rangka unjuk rasa, pawai atau mogok massal yang seluruhnya berawal secara damai, semakin mengundang media untuk meliput (studentadvantage.com,2001). Kekerasan, yang tidak dikehendaki kemunculannya oleh polisi, kemudian menghadirkan spiralling effect berupa adanya masalah baru, yakni ketika media datang. Hal ini juga kerap terjadi di Indonesia.
Berbeda dengan anarki oleh kelompok cair yang secara teoritik sulit sekali dibendung oleh polisi sejak fase  paling awal, maka  kalau mau, polisi  sebenarnya dapat membendung anarki yang diproduksi oleh kelompok terorganisir dan terencana ini.
            Bila masyarakat sendiri yang perlu mencegah anarki oleh massa spontan, maka hanya polisilah yang mampu (dan diperbolehkan oleh undang-undang) untuk mencegah dan menindak anarki jenis kedua tadi sesuai fungsinya sebagai pemelihara ketertiban umum (public-order policing). Intelijen kepolisian yang kuat tentu dapat mendeteksi niat para perancang unjuk rasa, misalnya, untuk “menabrak” siapapun yang mencegah ulah brutal mereka.

KETIDAKPERCAYAAN PADA HUKUM
            Sering dikatakan, tindakan anarkis itu identik dengan ketidakpercayaan pada polisi. Daripada menyerahkan segala sesuatunya kepada polisi dengan kemungkinan tidak mendapatkan keadilan sebagaimana dipersepsikan, maka lebih baik merekalah yang menjadi polisi, jaksa sekaligus hakimnya.
            Perihal ketidakpercayaan itu, diduga bisa benar namun bisa pula tidak. Dikatakan benar karena, betapapun hendak disangkal, nyatanya ada saja oknum polisi yang menyalahgunakan wewenangnya. Alih-alih melakukan penyidikan dan pemberkasan, yang kemudian terjadi adalah transaksi uang dari tersangka kepada oknum polisi tersebut agar bisa ditahan luar atau bahkan ditangguhkan perkaranya.
Tetapi hal itu bisa pula dikatakan tidak benar, mengingat yang sebenarnya dikeluhkan oleh para anarkis tadi adalah “kinerja hukum pada umumnya yang tidak memenuhi harapan”.
            Ada yang mengatakan “penegak hukum bekerja lambat” ; tetapi bukankah jaksa dan hakim itu bekerja jauh lebih lambat dibanding polisi?. Ada pula yang mengatakan, “tuntutan buat tersangka rendah”; tetapi bukankah menuntut itu bukan pekerjaan polisi?  Atau dikatakan pula, “pelaku akhirnya bisa lenggang-kangkung lagi”; tetapi bukankah memutuskan perkara juga bukan pekerjaan polisi?.
Hanya saja, selaku personifikasi hukum dan elemen terdepan dalam proses penegakkan hukum, polisi memang kerap terpaksa menerima getahnya mengingat polisilah yang secara langsung berurusan dengan tindak anarkis itu dan bukan aparat hukum lainnya.
Juga perlu disebutkan bahwa, terdapat kecenderungan yang semakin menyulitkan kepolisian pada umumnya berkaitan dengan pemeliharaan ketertiban umum. Sebagai contoh, dapat kita lihat apa yang terjadi di Amerika Serikat berkaitan dengan  upaya negara menjunjung terlaksananya hak kebebasan berbicara (dikenal dengan the First Amendment) maka Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan sebagai berikut :

“… citizens must tolerate insulting, and even outrageous, speech in order to provide adequate breathing space to the freedoms protected by the First Amendment.” (Boos v. Barry, 1988 in Schofield, 2001)

            Menghadapi dilemma ntara ketetapan konstitusional dan pelaksanaan teknis di lapangan, menurut Schofield (2001), kepolisian jelas menghadapi kesulitan besar. Sehubungan dengan itu pula, muncul pula keputusan pengadilan, yang secara langsung atau tidak langsung membantu kepolisian, berkaitan dengan keharusan memperoleh ijin sebelum mengadakan kegiatan di wilayah publik, pengaturan terhadap ancaman kekerasan yang mungkin muncul selama unjuk rasa, pelarangan berkaitan dengan suara yang ditimbulkan atau wilayah-wilayah tertentu yang menurut kepolisian dilarang untuk diduduki oleh para demonstran.

Referensi