Nama : Yaswidya Amandarizky Cahyanandyasmoro
NPM : 17111496
Kelas : 1KA16
Tindakan anarkis entah itu berupa perusakan, pengeroyokan, pembakaran
tersangka, penjarahan dan lain-lain pada dasarnya adalah hasil dari suatu
perilaku kolektif (collective behavior).
Bila dinamakan perilaku kolektif, bukanlah semata-mata itu merupakan perilaku
kelompok melainkan perilaku khas yang
dilakukan sekelompok orang yang
anggotanya pada umumnya tidak saling kenal, bersifat spontan dan mudah cair
(dalam arti menghentikan perilakunya).
Kelompok yang lalu disebut
entah itu crowd, craze dan mob itu, pada dasarnya sama pula secara
kondisional yakni telah mengalami
deindividuasi. Deindividuasi tersebut memungkinkan seseorang atau sekelompok
orang melakukan tindakan-tindakan destruktif dan sadis di luar rasionalitas
individual dari para pelakunya (berkaitan dengan tema ini, penulis banyak
dipengaruhi pikiran-pikiran Smelser, 1970).
Uraian ini pertama-tama
bertujuan memberi kontribusi atas permasalahan yang dihadapi kepolisian
menghadapi dinamika masyarakat yang terlalu eksplosif akhir-akhir ini. Dalam
kaitan itulah tulisan ini mempergunakan perspektif kepolisian dalam melihat
fenomena perilaku kelompok ini.
ANARKIS ATAU PASIFIS
Secara logis
sebenarnya bisa dikatakan, bahwa
tindakan anarkis akan menurun drastis bila frekuensi kemunculan perilaku
kolektif juga ditekan habis-habisan. Dalam hal ini, yang paling efektif
melakukan tekanan itu sebenarnya anggota masyarakat sendiri, dan bukan polisi,
mengingat perilaku kolektif bisa muncul dimana saja kapan saja secara tak
terduga padahal polisi tidak mungkin berada dimana-mana. Terlebih lagi bila
diingat bahwa masyarakat Indonesia termasuk tipe masyarakat yang mudah terbawa
atau hanyut dalam perilaku kolektif.
Cara masyarakat melakukan
tekanan itu adalah sebagai berikut: dengan
tidak mudah kehilangan rasionalitas, dan selanjutnya mengadakan
penolakan berbasis individual terhadap dorongan itu.
Terhadap kecenderungan
menyambut ajakan perilaku kolektif tersebut, yang masih saja menjadi misteri
dari suatu tindak anarkis adalah sebagai berikut: Bila situasi anarkis adalah
titik ekstrim dari perilaku kolektif, maka situasi pasifis (situasi aman dan
tenang) adalah titik ekstrim lainnya. Bila perilaku a-sosial (perilaku menyimpang
dan melanggar) adalah titik ekstrim, maka seharusnyalah perilaku pro-sosial
(seperti perilaku menolong tanpa pamrih atau mengorbankan diri untuk orang
lain) adalah ekstrim lainnya dari perilaku kolektif. Baik situasi pasifis dan
perilaku pro-sosial, dengan demikian, mestinya sama potensialnya untuk muncul
dibanding situasi anarkis dan perilaku a-sosial.
Permasalahannya adalah:
mengapa yang selalu muncul adalah situasi anarkis dan perilaku a-sosial?
Mengapa pada saat ada seseorang yang menganjurkan untuk anarkis, ternyata tidak
ada (atau sedikit sekali) orang yang minimal berkata ”jangan” ? Padahal, di
pihak lain, bisa diduga bahwa sebagian kecil atau sebagian besar peserta dari
kelompok anarkis itu adalah orang-orang yang juga terdidik, memiliki
sopan-santun, datang dari keluarga kelas menengah, menjalankan ibadah agama,
telah menikah dan memiliki anak hingga juga menduduki status sosial tertentu di
masyarakat.
Beberapa faktor itu,
selama ini, kita yakini sebagai yang
memberdayakan orang untuk menciptakan situasi pasifis dan melakukan tindakan
pro-sosial. Nyatanya, untuk konteks Indonesia, hal-hal tersebut tidak ampuh
sama sekali dalam menghadapi faktor tekanan kelompok (peer pressure) yang menganjurkan anarki tadi.
KEYAKINAN BERSAMA
Salahsatu kontributor dari
munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama
itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling
(dan olehkarenanya diyakini “pantas” untuk digebuki) ; atau situasi apa yang
mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti
dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan).
Perasaan tidak aman atau rasa takut pada kejahatan pada
umumnya juga diakibatkan oleh diyakininya perasaan bersama tersebut, terlepas
dari ada-tidaknya fakta yang mendukung perasaan tadi.
Media-massa dalam hal ini
amat efektif menanamkan citra, persepsi, pengetahuan ataupun pengalaman bersama
tadi. Maka, sesuatu yang mulanya kasus individual, setelah disebarluaskan oleh
media-massa lalu menjadi pengetahuan publik dan siap untuk disimpan dalam
memori seseorang. Memori tersebut pada suatu waktu kelak dapat dijadikan
referensi oleh yang bersangkutan dalam memilih model perilaku.
Perhatikan bahwa, pada
awalnya, kecenderungan membakar pelaku kejahatan hingga tewas ditemukan di
Cengkareng, Jakarta Barat. Setelah dengan
intens diberitakan di media-massa, secara beruntun fenomena yang sama
lalu terjadi di belahan tempat di Jakarta. Dan barulah sekitar setengah tahun
kemudian (sekadar untuk memperlihatkan bahwa terdapat penularan) fenomena ini kemudian ditemukan pula di luar
Jakarta.
Adanya keyakinan bersama (collective belief) tentang suatu hal tersebut amat sering dibarengi
dengan munculnya entah simbol, tradisi, grafiti, idiom/ungkapan khas dan bahkan
mitos serta fabel yang bisa diasosiasikan dengan kekerasan dan konflik. Sebagai
contoh, mitos tentang “kompleks Siliwangi”, STM Budut” atau “anak Berlan”.
Pada dasarnya kemunculan
hal-hal seperti simbol, tradisi dan lain-lain itu mengkonfirmasi bahwa masyarakat setempat
mendukung perilaku tertentu, bahkan juga bila diketahui bahwa itu termasuk
sebagai perilaku yang menyimpang. Adanya dukungan sosial terhadap suatu
penyimpangan, secara relatif, memang
menambah kompleksitas masalah serta, sekaligus, kualitas penanganannya.
Secara perilaku, dukungan
itu bisa juga diartikan sebagai telah munculnya kebiasaan (habit) yang telah mendarah-daging (innate) di kelompok masyarakat itu. Adanya graffiti atau coretan-coretan
di gang-gang kampung berbunyi “mobil nyenggol pengemudi benjol”, unjuk rasa
yang selalu diiringi kepalan dan teriakan,
atau ungkapan khas Betawi “gue babat lu” adalah contoh-contoh kecil dari
begitu eksplisitnya dukungan masyarakat terhadap kekerasan. Pada suatu waktu,
hal itu bakal menyumbang besar pada timbulnya anarki.
Maka, terhadap adanya
kecenderungan peningkatan anarki di masyarakat, sadarlah kita bahwa kita
berkejaran dengan waktu. Pencegahan anarki perlu dilakukan sebelum tindakan itu
tumbuh sebagai kebiasaan baru di masyarakat mengingat telah cukup banyaknya
kalangan yang merasakan “asyik”-nya merusak, menjarah, membakar dan lain-lain
tanpa dihujat apalagi ditangkap (lihat Meliala
dalam Gamma, 2000).
Berkaitan dengan
ketidaksadaran dari banyak kalangan perihal beroperasinya suatu keyakinan
bersama menyusul suatu tindak anarki, adalah kebiasaan kita untuk kemudian
menunjuk adanya provokator. Provokator tersebut, secara teoritik, dapat
dipersamakan dengan agitator atau insinuator bila hasil kerjanya berupa munculnya rasa marah dan kemauan
berkonflik pada diri orang yang di-agitasi atau di-insinuasi.
Selanjutnya, kerap kita membayangkan bahwa provokator
tersebut adalah orang di luar kelompok atau massa (entah yang cair atau
terorganisasi) yang mengabarkan cerita buruk dan bohong. Tak cukup dengan itu,
dapat pula diimajinasikan bahwa provokator itu melakukannya seraya
berbisik-bisik dengan mata curiga dan
berjalan mengendap-endap. Cukup mengherankan bila polisi, sebagai profesional
yang seharusnya mengetahui bagaimana perilaku kolektif muncul dan bekerja, juga
ikut-ikut mengemukakan hal yang sama.
Mengenai bayangan itu,
diduga kuat tidaklah demikian dalam kenyataannya. Yang lebih mungkin terjadi adalah bahwa antar
anggota kelompok atau massa itu sendirilah yang saling memprovokasi, saling
mengagitasi atau saling menginsinuasi satu sama lain agar melakukan tindak
anarki. Bila begitu, tak ayal, efeknya akan jauh lebih hebat dan lebih mungkin
berhasil.
KELOMPOK TERORGANISIR
Anarki, sebagaimana telah
disinggung di atas, dilakukan dalam
rangka perilaku kolektif oleh massa yang spontan berkumpul dan, sepanjang
diupayakan, dapat dengan mudah cair kembali. Dengan demikian, secara
kepolisian, memang relatif lebih mudah memecah-belah massa dari tipe ini
sepanjang tersedia perkuatan (enforcement)
yang cukup.
Yang jauh lebih merepotkan
adalah, bila anarki dilakukan oleh orang-orang dari kelompok tertentu yang
terorganisasi, memiliki motif militan dan radikal serta membawa senjata (atau
benda-benda lain yang difungsikan sebagai senjata). Pelakunya juga bisa datang
dari suatu komunitas yang, katakanlah, telah terinternalisasi dengan nilai dan
ide kekerasan sebagaimana disebut di atas dan menjadi radikal karenanya (lihat
Meliala, Pembaruan, 2001).
Maka singkatnya, anarki pada kelompok cair adalah sesuatu hal
yang niscaya, wajar terjadi atau tak terhindarkan. Sedangkan anarki pada
kelompok yang terorganisasi adalah efek yang sudah diperhitungkan (calculated effect), yang akibatnya
sudah diperhitungkan dalam kaitannya dengan yang lain (systematic effect). Sehingga benar bila dikatakan efek itu sendirilah yang justru diinginkan
untuk terjadi (intended effect).
Anarki oleh kelompok terorganisir ini umumnya
terencana, memiliki cukup kekuatan dan jaringan, memiliki motif tertentu
dan juga target-target tertentu.
Kekerasan yang muncul kemudian, entah dalam rangka unjuk
rasa, pawai atau mogok massal yang seluruhnya berawal secara damai, semakin
mengundang media untuk meliput (studentadvantage.com,2001). Kekerasan, yang
tidak dikehendaki kemunculannya oleh polisi, kemudian menghadirkan spiralling effect berupa adanya masalah
baru, yakni ketika media datang. Hal ini juga kerap terjadi di Indonesia.
Berbeda dengan anarki oleh kelompok cair yang secara teoritik
sulit sekali dibendung oleh polisi sejak fase
paling awal, maka kalau mau,
polisi sebenarnya dapat membendung
anarki yang diproduksi oleh kelompok terorganisir dan terencana ini.
Bila masyarakat sendiri
yang perlu mencegah anarki oleh massa spontan, maka hanya polisilah yang mampu
(dan diperbolehkan oleh undang-undang) untuk mencegah dan menindak anarki jenis
kedua tadi sesuai fungsinya sebagai pemelihara ketertiban umum (public-order policing). Intelijen
kepolisian yang kuat tentu dapat mendeteksi niat para perancang unjuk rasa,
misalnya, untuk “menabrak” siapapun yang mencegah ulah brutal mereka.
KETIDAKPERCAYAAN PADA HUKUM
Sering dikatakan, tindakan
anarkis itu identik dengan ketidakpercayaan pada polisi. Daripada menyerahkan
segala sesuatunya kepada polisi dengan kemungkinan tidak mendapatkan keadilan
sebagaimana dipersepsikan, maka lebih baik merekalah yang menjadi polisi, jaksa
sekaligus hakimnya.
Perihal ketidakpercayaan
itu, diduga bisa benar namun bisa pula tidak. Dikatakan benar karena, betapapun
hendak disangkal, nyatanya ada saja oknum polisi yang menyalahgunakan
wewenangnya. Alih-alih melakukan penyidikan dan pemberkasan, yang kemudian
terjadi adalah transaksi uang dari tersangka kepada oknum polisi tersebut agar
bisa ditahan luar atau bahkan ditangguhkan perkaranya.
Tetapi hal itu bisa pula dikatakan tidak benar, mengingat
yang sebenarnya dikeluhkan oleh para anarkis tadi adalah “kinerja hukum pada
umumnya yang tidak memenuhi harapan”.
Ada yang mengatakan
“penegak hukum bekerja lambat” ; tetapi bukankah jaksa dan hakim itu bekerja
jauh lebih lambat dibanding polisi?. Ada pula yang mengatakan, “tuntutan buat
tersangka rendah”; tetapi bukankah menuntut itu bukan pekerjaan polisi? Atau dikatakan pula, “pelaku akhirnya bisa
lenggang-kangkung lagi”; tetapi bukankah memutuskan perkara juga bukan
pekerjaan polisi?.
Hanya saja, selaku personifikasi hukum dan elemen
terdepan dalam proses penegakkan hukum, polisi memang kerap terpaksa menerima
getahnya mengingat polisilah yang secara langsung berurusan dengan tindak
anarkis itu dan bukan aparat hukum lainnya.
Juga perlu disebutkan bahwa, terdapat kecenderungan yang
semakin menyulitkan kepolisian pada umumnya berkaitan dengan pemeliharaan
ketertiban umum. Sebagai contoh, dapat kita lihat apa yang terjadi di Amerika
Serikat berkaitan dengan upaya negara
menjunjung terlaksananya hak kebebasan berbicara (dikenal dengan the First
Amendment) maka Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan sebagai berikut :
“… citizens must tolerate
insulting, and even outrageous, speech in order to provide adequate breathing
space to the freedoms protected by the First Amendment.” (Boos v. Barry, 1988 in Schofield, 2001)
Menghadapi dilemma ntara
ketetapan konstitusional dan pelaksanaan teknis di lapangan, menurut Schofield
(2001), kepolisian jelas menghadapi kesulitan besar. Sehubungan dengan itu
pula, muncul pula keputusan pengadilan, yang secara langsung atau tidak
langsung membantu kepolisian, berkaitan dengan keharusan memperoleh ijin
sebelum mengadakan kegiatan di wilayah publik, pengaturan terhadap ancaman
kekerasan yang mungkin muncul selama unjuk rasa, pelarangan berkaitan dengan
suara yang ditimbulkan atau wilayah-wilayah tertentu yang menurut kepolisian
dilarang untuk diduduki oleh para demonstran.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar