Nama : Yaswidya Amandarizky Cahyanandyasmoro
NPM : 17111496
Kelas : 1KA16
Dalam
pemakaian sebagian besar masyarakat sehari-hari arti “kebudayaan” seringkali terbatas pada sesuatu yang
indah-indah, seperti misalnya candi, tarian, seni rupa, seni suara, sastra, dan
filsafat. Ralph Linton, seorang ahli antropologi dalam bukunya The Cultural
Background of Personality, mempunyai
definisi yang berbeda antara definisi yang umum tersebut dengan definisi
seorang ahli antropologi sebagaimana disajikan pada uraian berikut (Ihromi,
1994; 18):
“Kebudayaan
adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak mengenai
sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih
tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup itu masyarakat kalau
kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri, maka tidak ada sangkut
pautnya dengan main piano atau membaca karya sastra terkenal. Untuk seorang
ahli ilmu sosial, kegiatan seperti main piano itu, merupakan elemen-elemen
belaka dalam keseluruhan kebudayaan kita. Keseluruhan ini mencakup
kegiatan-kegiatan duniawi seperti mencuci piring atau menyetir mobil dan untuk
tujuan mempelajari kebudayaan, hal ini sama derajatnya dengan “hal-hal yang lebih halusdalam kehidupan”. Karena itu, bagi seorang ahli ilmu
sosial tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan. Tiap
masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu dan
setiap manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam
suatu kebudayaan.”
Penjelasan
Liton di atas menunjukkan bahwa kebudayaan ternyata memiliki berbagai aspek,
yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap, dan
hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok
penduduk tertentu.
Kebudayaan
menurut ilmu antropologi pada hakikatnya adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1996; 72).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hampir semua tindakan manusia adalah
kebudayaan, karena hanya sebagian kecil dari tindakan manusia yang tidak
dibiasakan dengan belajar seperti naluri, refleks, atau tindakan yang dilakukan
akibat suatu proses fisiologis. Bahkan beberapa tindakan yang didasari atas
naluri (seperti makan, minum, dan berjalan) sudah dapat banyak dikembangkan
manusia sehingga menjadi suatu tindakan yang berkebudayaan.
Pada
tahun 1950, A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn telah berhasil mengumpulkan lebih
dari seratus definisi (176 definisi) yang diterbitkan dalam buku mereka yang
berjudul Culture:
A Critical Review Of Concept And Definitions (1952). Dari
pencariannya itu mereka menemukan bahwa semua definisi yang baru cenderung
mengadakan perbedan yang jelas antara perilaku yang nyata di satu pihak, dan
pihak lain berupa nilai-nilai, kepercayan, dan persepsi tentang jagat raya yang
letaknya tidak dapat terlihat. Dengan demikian kebudayaan juga menyangkut
perilaku yang tidak kelihatan, yang merupakan nilai-nilai dan kepercayaan yang
digunakan manusia untuk menafsirkan pengalaman dan menimbulkan perilaku yang
terlihat. Oleh karena itu definisi kebudayaan kemudian berkembang menjadi : “Seperangkat peraturan dan standar, yang
apabila dipenuhi oleh para anggota masyarakat, menghasilkan perilaku yang
dianggap layak dan diterima oleh para anggotanya (dalam Haviland, 1995; 332-334
dan Koentjaraningrat, 1996; 73).
Kebudayaan
nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi
kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998,
yakni :
“Kebudayaan
nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa
bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk
mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberi
wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan
bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya”.
Kebudayaan
Nasionaldalam pandangan Ki Hajar Dewantara
adalah “Puncak-puncak dari kebudayaan daerah.” Kutipan
pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimatapkan, sehingga
ketunggalikaan makin lebih dirasakan dari pada kebhinekaan. Wujudnya berupa
negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional.
Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari pernyataannya: “Yang
khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa
mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan
nasional”. Pernyataan ini
merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang
bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk
mewakili identitas bersama.
Pernyataan
yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32.
Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi
kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat
penjelas pada Pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan
adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai
kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang.
Kebudayaan
daerah diartikan
sebagai kebudayaan yang khas yang terdapat pada wilayah tersebut. Kebudayaan
daerah di Indonesia di Indonesia sangatlah beragam. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan daerah
sama dengan konsep suku bangsa. Suatu kebudayaan tidak terlepas dari pola
kegiatan masyarakat. Keragaman budaya daerah bergantung pada faktor geografis.
Semakin besar wilayahnya, maka makin komplek perbedaan kebudayaan satu dengan
yang lain. Jika kita melihat dari ujung pulau Sumatera sampai ke pulau Irian
tercatat sekitar 300 suku bangsa dengan bahasa, adat-istiadat, dan agama yang
berbeda.
Konsep
Suku Bangsa / Kebudayaan Daerah.
Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai
komunitas desa, sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat
yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat orang luar
yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Sebaliknya, terhadap kebudayaan
tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama unsur-unsur yang berbeda
menyolok dengan kebudayaannya sendiri. Pola khas tersebut berupa wujud sistem
sosial dan sistem kebendaan. Pola khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena
kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa berupa suatu unsur
kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus yang tidak terdapat pada kebudayaan
lain.
Menurut
Koentharaningrat (1996; 80). Dalam menganalisa suatu kebudayaan, seorang ahli
antropologi membagi seluruh kebudayaan yang sudah terintegrasi ke dalam
unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur
kebudayaan universal”.
Kluckhohn (dalam Koentharaningrat, 1996; 80-81), menemukan bahwa terdapat tujuh
unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia yang disebut
sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan, yaitu :
1. Bahasa
2. Sistem
organisasi
3. Organisasi
sosial
4. Sistem
peralatan hidup dan teknologi
5. Sistemmata
pencaharian hidup
6. Sistem
religi
7. Kesenian
Referensi
http://rzaharani.blogspot.com/2012/03/kebudayaan-daerah-merupakan-sumber.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar